Sabtu, 16 Juli 2011

Auto koreksi di malam Nifsu Sya'ban


Sejenak saya tersadar untuk memikirkan bahwa selama ini sebagian besar waktu saya telah mengendepankan aspek nalar. Bukanlah menjadi suatu yang buruk bilamana peruntukannya menjadi kebijaksanaan. Namun kontemplasi yang saya alami adalah “Setan bermukim di otak kiri manusia (otak logika)” dan menohok secara keras atas keangkuhan selama ini yang telah menipiskan sisi kepercayaan yang menempatkan dalih bahwa “ini - itu nya” tidak masuk akal. Dan saya akui bahwa cukup memalukan bilamana berikutnya itu semua adalah keterbatasan otak / pikiran saya untuk menginterprestasi sesuatu yang saya hadapi.
Artinya bahwa rendahnya kebijaksanaan dan kesadaran maka sering menempatkan seseorang untuk menghindarkan suatu kebenaran universal yang tidak di setujui atau di kehendakinya. Dengan dalih bahwa itu tidak masuk akal, kontraproduktif atau mungkin secara hening telah merendahkan Allah secara sistemik di dalam cara berpikirnya. Tergeraknya saya menulis ini adalah Nifsu Sya’ban itu baik adanya karena di malam itu Allah akan memberikan perhatian luar biasa atas perjalanan hidup manusia setahun ke depan. Di moment itu manusia di beri kesempatan untuk menyampaikan keinginan dan menyerahkan dirinya tanpa syarat – karena Allah akan menjauhkan dari petaka, kedengkian dan mengabulkan semua rencana-rencana yang di sampaikan kepada Nya.
Pertama kali saya searching tentang Nifsu Sya’ban, dalam benak saya muncul tanda besar “ndak iyo” dan seperti ada yang mengingatkan kembali kepada saya bahwa pendapat tadi memberikan bentuk auto koreksi - selama ini saya sangat rendah mempercayai Allah plus janji-janji Allah. Saya selama ini telah terjebak dalam rutinitas ritual agama tanpa memahami ruh spiritnya. Sungguh pikiran menjijikan yang bersarang dalam raga dewasa saya. Keangkuhan tanpa bentuk sesungguhnya karena ia menampakan atas nama cerdas berlogika dan selama ini telah mendominasi pendewasaan diri . Semoga saya memaknai ini sebagai tonggak kebangkitan saya untuk cerdas menjalani hidup saya secara islami karena sebenarnya saya memang tidak pernah cukup waktu secara sadar untuk mendengarkan Allah akan bicara apa kepada saya, selama ini saya terlalu egois karena telah mendikte keinginan saya kepada Allah dalam doa normative. Suatu pemahaman keliru bahwa ketika berdoa itu tidak hanya menyampaikan tetapi juga harus menyediakan waktu yang cukup untuk mendengarkan Allah bicara apa atas semua yang telah tersampaikan di dalam doa. Saya pikir itu yang di sebut dengan sabar menjalani setelah semua kita sampaikan di dalam doa.