Ketika terbangun hari ini saya begitu kaget bercampur gembira, bisa jadi saya boleh menggambarkannya sebagai kejadian yang langka. Tetapi saya gembira atas mimpi itu, kenapa?. Saya bermimpi di ujung subuh hari ini sepertinya saya berada di depan baitullah. Iya, saya mengalami pengalaman - sensasi yang luar biasa karena sedang berdiri mengamati Ha
jar Aswad - batu dari langit yang biasa di cium oleh para pengunjung Ka'bah.
Mimpi itu sempurna sekali menggambarkan situasinya disana sangat real dan hidup, padahal saya juga belum pernah ke sana sebelumnya.
Benar kalau dibilang bahwa "Pikiran itu mendahului realita" Pikiran adalah kompas untuk suatu tujuan, siapapun yang berani bermimpi itulah penakluk masa depan. Saya salah satunya, karena saya telah berani untuk bermimpi, bermimpi untuk semua hal.
Saya selalu sedang mencoba untuk menanda apa yang telah menjejak di dalam perjalanan hidup saya,saya ingin menjadi pribadi yang dapat mengkoreksi jejak-jejak makna yang telah mengantarkan saya hingga sekarang. Bisa jadi apa yang tertulis sulit bagi saya untuk memahaminya tetapi di kesempatan berikutnya saya pasti dapat berpijak atas dasar jejak saya sendiri.
Kamis, 06 Februari 2014
Rabu, 05 Februari 2014
Menjadi Baik
Ketika saya bergegas keluar dari
halaman Puskesmas Pajang, perhatian saya tertuju ke sepeda motor yang diparkir
di samping kendaraan saya. Plat AA…. F, ahh ini pasti satu daerah dengan saya
pikir saya. Dan sayapun membuka percakapan dengan pemiliknya, seorang pemuda
yang masih muda dan sopan sekali. Ternyata Beni dari Wonosobo dan keberadaannya
di Puskesmas sedang bekerja untuk Solo Peduli.
Saya tahu dia sungkan untuk
menawarkan program itu kepada saya, atau mungkin si Beni punya alasan lain.
Tapi bukan saya kalau tidak bisa menghidupkan suasana, hingga akhirnya si Beni yang speechless pun bisa
bicara panjang lebar, ngalor ngidul - ngetan ngulon. Good.
Marketer juga manusia, mungkin
itu kalimat yang pas untuk menggambarkan situasi tadi siang. Walhasil si Beni
bisa merekrut saya sebagai salah satu donatur dari program yang di bawanya. Saya
kan seorang marketer dan ternyata juga bisa dipersuasive oleh Beni. Hehehehehe.
Padahal saya juga punya reputasi dan jam
terbang tinggi, toh ternyata saya bisa diyakinkan olehnya.
Saya pikir dan analisa kenapa
saya bisa mau dan memutuskan untuk partisipasi pada Solo Peduli. Owh, ternyata saya cuma ingin bisa
menjadi orang baik (menurut ukuran saya). Saya juga nggak peduli dengan
embel-embel apapun karena memang saya sudah meyakini bahwa pujian dan celaan
itu “beti”: beda tipis. Ada perasaan yang sangat menggembirakan dalam pikiran
saya karena saya mampu memilih tindakan saya dalam kapasitasnya sebagai manusia.
Berbuat baik tidak harus menunggu saya menjadi hartawan, ataupun saya kelebihan
harta. Toh nyatanya begitu sore hari saya ajak salah satu teman untuk menjadi donatur,
dia mengatakan belum siap finansialnya. Nggak ada yang salah dengan semua
keputusan siapapun yang ada adalah mampu memutuskan sesuatu yang baik bagi
dirinya. Puas sekali saya merasakan sensasi ini dan karunia yang Allah berikan
setelah saya dimampukan untuk menjadi lebih baik dalam mengisi kapasitas diri
saya sendiri. Mungkin memang sudah datang waktu Nya untuk menjadi merasa lebih terhormat dari kemarin.
Pertimbangan logisnya adalah,
donasi-donasi itu akan sangat berguna bagi mereka yang membutuhkan. Taruhlah Beni
yang cuma lulusan MAN dari Wonosobo dan kini sedang menuju takdirnya, mungkin
kelak dia akan menjadi lebih baik dari saya, menjadi manusia besar. Meskipun
dia menerima beasiswa dari Solo Peduli, ia pun sadar diri untuk membaktikan kesempatan
dengan bekerja untuk yayasannya. Kesadaran itulah yang paling mempersuasive
diri saya untuk saya bisa berbuat sedikit kepada Solo Peduli.
Pun ketika Beni closing, dia
mengucapkan terima kasih dan semoga dana itu bermanfaat - diridloi Nya. Ketika
itu saya kaget dan merasa apakah saya pantas memperoleh doa seperti ini? Atau memang
sudah lama saya tidak peduli kepada orang lain? Saya sama sekali tidak bermain
peran dan respon yang tiba-tiba muncul ketika itu saya hanya merasa nggak pantas diucapi penghargaan. Saya
hanya merasa bahwa memang sudah seharusnya saya berbuat itu, ya Allah mohon
maaf atas kelancangan hamba yang tidak pandai bersyukur, namun lewat Beni
Engkau telah buka mata hati hamba. Semoga hamba menjadi makhluk Mu yang taat di
waktu-waktu mendatang dan pandai bersyukur pula.
Minggu, 26 Januari 2014
Astana Giribangun
Saya tidak bisa melupakan begitu saja perihal sosok Presiden HM Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Alasannya saya juga nggak tahu persis kenapa saya sangat mencintai beliau. Ada kekaguman tersendiri karena pandangan dan nilai-nilai falsafah Jawa yang di anut oleh mereka berdua. Dan itu tidak ada pada presiden RI berikutnya.
Ketika wafatnya Presideng Soeharto, saya juga masih ingat betul waktu dan kondisi saya saat itu. Yach, terkapar sakit - masuk angin hebat akibat tidak makan nasi selama 20 hari kecuali makan produk non beras dan sayuran + daging. Maka ketika hari ini saya mengunjungi makam beliau di Astana Giribangun, saya pun reframing dengan mudah ingatan saya ketika mendengar Indonesia berduka.
Terima Kasih Bp Soeharto, terima kasih Ibu Tien Soeharto. Semoga panjenengan dirakhmati Allah Ta'alla.
Ketika wafatnya Presideng Soeharto, saya juga masih ingat betul waktu dan kondisi saya saat itu. Yach, terkapar sakit - masuk angin hebat akibat tidak makan nasi selama 20 hari kecuali makan produk non beras dan sayuran + daging. Maka ketika hari ini saya mengunjungi makam beliau di Astana Giribangun, saya pun reframing dengan mudah ingatan saya ketika mendengar Indonesia berduka.
Terima Kasih Bp Soeharto, terima kasih Ibu Tien Soeharto. Semoga panjenengan dirakhmati Allah Ta'alla.
KGPAA Mangkunegara IV - Inspiratorku
Sudah beberapa tahun silam
saya memulai membaca “Serat Wedhatama” karya dari KGPAA Mangkunegara IV. Bahkan hingga kini saya masih terus mencoba untuk
menembangkannya lirik dalam serat
tersebut. Satu favorit saya adalah yang berbentuk Sekar Pangkur.
Liriknya adalah : Jinejerneng wedhatama, mrih tan kemba,..... dst.
Berawal membaca serat Wedhatama yang di tafsir oleh Anand Khrisna - saya sangat kagum terhadap karya tersebut
dan akhirnya muncul dorongan untuk sowan ziarah ke Girilayu - Gunung
Tempat Bersemayam Orang-orang Mati. Bukan suatu apa-apa bilamana saya berkunjung ke sana, selain untuk menggenapkan "roso" dari nyecep sari nya Serat Wedhatama. Sebenarnya yang pertama kali mengenalkan sekar itu adalah guru saya SDN 7 Kebumen - Bp Sudjadi. (Hebat ya, waktu itu SD saya cuma tahunya nyanyi Jawa tetapi setelah ndolor dewasa baru ngeh sejatine sekar tersebut).
Sebuah perwujudan luar biasa
di sebelah timur Solo yang berjarak kurang lebih 30 Km dan di bangun pada tahun 1881. Sebuah makam yang
terbuat dari baja berukuran 20 X 10 Meter dengan tinggi 7 Meter,
sejarahpun mencatat bahwa baja itu di
import dari Belanda yang mendarat di Pelabuhan Semarang kemudian diangkut
dengan kereta api dari Semarang ke Solo. Nah, dari Solo diangkat secara manual
ke Girilayu yang berketinggian 1250 dpl. Bayangkan mas – mbak Broo. Rekasa
biyaaaaanget tow anggone nggawe kuburan.
Berbekal dengan niat baik plus
nothing to lose (suwung - tebih ing pamrih) saya mencoba approach kepada Bp
Tugiman selaku kuncen di makam tersebut. Saya bisa katakan negosiasi tadi itu
mulus-lus, bahkan bapak kuncen itu
mempersilakan saya untuk menikmati suasana hening, tintrim dan meditatif di dalam mouseleum
seorang diri. Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan pengalaman
luar biasa.. Semoga apa yang saya peroleh hari ini akan menjadi bekal perjalanan
hidup saya .
Jumat, 24 Januari 2014
Belajar dari Bu Endang
Ketika saya sarapan di
tempat warungnya Bu Endang perhatian saya tertuju kepada salah satu pembeli
yang membungkus sarapannya. Sepertinya pembeli perempuan itu memang
terburu-buru karena masalah jam kerjanya. Yang bikin saya memelankan kunyahan nasi
di mulut adalah ketika menyaksikan ia menulis apa yang dibelinya dan tanpa
membayar cash kepada Bu Endang lalu beranjak pergi.
Sambil berseloroh saya
bilang” lho Bu Endang, tampaknya dia nyorek (nulis – ngebon) atau memang sudah
langganan?” seraya pengin tahu (kepo ya..?). Bagaimana tidak kepo lah, hari
gini masih ada warung makan yang kasih utangan. Ternyata apa yang saya pikir tidak se-ekstrim
apa yang saya pikirkan.
Singkat cerita, Bu Endang
ternyata jauh hari sebelumnya telah menandatangani MoU dengan management
BreadTalk Solo Square, di mana untuk memenuhi kebutuhan makan pekerjanya di tetapkan
warung makan Ibu Endang sebagai rekanan. Wuihhh hebat ya, saya nggak nyangka
apa yang dilakukannya.
Dengan ekpresi bicara yang paaaaanjang
dan leeeeebar plus antuasias Bu Endang cerita bahwa kerjasama yang dijalin itu
atas dasar saling percaya dan menjunjung azas “sebaik-baik manusia adalah yang
memberi manfaat kepada lainnya”.
Ckk ckkk ckkk - piye kuwi Bu
? Mereka (bocah-bocah karyawan toko roti) sudah menganggap aku seperti simbok,e dan tiap hari mereka makan tidak
saya tentukan susunan menunya. Boleh pilih ini atau itu seperti yang mereka mau/sukai. Dan apa
yang mereka makan masing-masingnya
setiap hari akan direkapitulasi untuk
di klaim per bulannya. Jadi tiap pekerja tidak sama biaya makannya tapi
total keseluruhannya akan saling mensubsidi. (Piro tow Bu budget perbulan nya ? sambil tersenyum penuh passion ia berbicara lirih - Rp
diatas 5 jeti, haaa?)
Huffh, saya gelo sekali kenapa
baru mendengar cerita luar biasa itu ? Sepertinya itu sesuatu yang sederhana
tetapi butuh ketekunan dan keuletan kesabaran plus memakai hati – roso. Kalau saya
sich tidak sanggup bilang itu sederhana, namun lebih pas kalau dibilang sebagai
smart (cerdas). Bisa jadi Ibu Endang tidak melalui teori pemasaran legacy tetapi yang
dilakukannya sudah mencapai strategi era new wave marketing. Beliau sadar bahwa
bisnis warung makan adalah bisnis di pasar horizontal dimana reputasi dan
partnership menjadi hal yang maha penting. Ia telah menerapkan komunikasi dua
arah meski ia tidak sadar akan aktiftas pemasarannya. Dan sebenarnya apa yang
terjadi itu bisa disebut sebagai penerapan dari promosi menuju komunkasi, low
budget high impact tentunya. Bravo buat Ibu Endang dan saya tunggu masakan
spesialnya buat saya : Mangut Iwak Pe, Bothok Kemangi atau Capcay dan Tempe
Glepung nya.
Senin, 20 Januari 2014
Indahnya Dunia Endah
Menempatkan diri untuk menikmati musik keroncong adalah
kehormatan tersendiri bagi saya. Dan pemberitahuan performn Endah Laras
sudah satu minggu sebelumnya saya ketahui ketika mengunjungi Balai Soedjatmoko
Solo. Jujur saya langsung merasa “harus” nonton dan saya harus bisa menikmati
konser dari ikon baru musik keroncong. Bisa jadi memang malam ini adalah
keberuntungan yang bertubi-tubi saya peroleh. Mulai dari hujan yang reda ketika
berangkat, memperoleh MP3 dari konser tersebut hingga posisi duduk yang cukup
menguntungkan – di depan dan nyaman. Apalagi di sebelah saya tiba-tiba hadir
seorang penulis kawakan – Bp Kastoyo. Lengkap sudah saya perjalanan malam ini.
Kenapa? Karena saya memang sudah lama pengin punya akses dengan penulis profesional
agar saya lebih mahir dalam bertutur dalam tulisan dan juga tips-tips
praktik tentunya. Puji Tuhan – Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Mu yang
telah memberikan karunia luar biasa ini.
Kembali ke cerita semula saya datang ke balai itu, adalah seorang yang bernama Endah Laras – vokalis putri terbaik
yang dimiliki Solo bahkan Indonesia. Bisa saya gambarkan suasana malam ini di
Balai Soedjatmoko yang luar biasa penuh padahal yang digelar hanyalah musik keroncong.
Bahkan ada beberapa orang asing dan keluarga Indonesia yang memang penikmat
seni berkumpul menjadi satu hanya dengan satu tujuan, mendengarkan suara emas
dari mbak Endah. Ada perasaan bangga sekaligus syukur yang mendalam ketika saya
melihat opening dari Mbak Endah dengan di iringi Rebab oleh pemain muda
berbakat. Eksotis sekali sampai-sampai saya membayangkan seandainya Vanesa Mae
melihatnya pasti dia ingin juga main rebab – biola Jawa. He he he he he. Belum
lagi ketika Mbak Endah CS – ada kakak adik keponakan membawakan lagu dolanan
yang sangat apik. Wuihh saya jadi ingat masa kecil saya dengan tembang dolanan
yang sudah nggak asing lagi di telinga – “Kupu Kuwi, Menthok-Menthok”, dst. Dan
yang nggak kalah seru adalah ketika Mbak Endah menyanyikan lagu Crying Rahwana,
saya takjub dengan cengkok Sunda yang sangat pas dan sulit dipercaya kalau Mbak
Endah sebenarnya sinden Jawa. Dan penutup konsernya juga luar biasa karena
konser juga kedatangan Mas Djadug, Cak Diqin dan beberapa seniman.
Selasa, 07 Januari 2014
Mendekat ke akarnya
Peribahasa bilang “Setinggi-tingginya
bangau terbang, jatuhnya ke pelimbahan juga” Mungkin pepatah sederhana ini bisa
menggambarkan tentang kecintaan saya untuk selalu mempertahankan sisi-sisi
kejawaan yang mengalir untuk mewarisi
titahnya leluhur terdahulu. Saya masih ingat ketika penawaran penempatan kerja –
saya lebih memilih Solo sebagai kota yang menjadi tempat untuk berekpresi atas
eksistensi tersembunyi yang memang telah saya sadari.
Untuk memelihara kebudayaan
Jawa atau setidaknya mencintai terlebih dahulu
maka kita harus mengenal secara intens. Karena Solo lah saya menjadi lengkap tersempurnakan untuk
mengenal “Kabudayan Jowo”. Saya mengukur diri kalau saya tidak mampu olah gerak
yang mewujud dalam seni tari. Tetapi saya lebih mampu berekspresi dalam
menikmati makanan – keplek ilat kata pinisepuh. Iyah bukan hal yang sulit untuk
secara secara kreatif dan cepat progress nya dalam olah lidah dan berburu kuliner Jawa yang unik atau langka.
Mulai dari kebiasaan makan
lalapan kemangi, meminum jamu, nasi liwet (yang ini lumrah kale ya), dan yang
paling menakutkan adalah makan walang goreng. Yang satu ini saya memang rada
takut, kuatir kalau kaki walang nya menggores dinding kerongkongan dan macet.
Betul juga ketika saya mendapatkan walang goreng di Playen Gunung Kidul dan kemudian
mencoba memakan satu aja, lalu …… bener-bener macet tidak bisa di telan. Sampai
akhirnya saya siram dengan air minum.
Dan saya tidak berpikir itu akan menjadi celaka selain apa yang terjadi
karena buah pikir saya sebelumnya. Sisi pentingnya adalah saya sudah mencobai
dan tidak katanya lagi – iyah bener-bener makan walang. Bravo – hebat saya bisa
mengalahkan rasa takutnya.
Ada lagi yang bikin saya suka
adalah makan Thiwul Wonogiri, meski sebagian orang sambat bahwa thiwul bisa
membakar abdomen. Ha ha ha ha ha perut
saya tahan panas dan tidak kaget babar blas malah menjadi sekarang seperti candu karena saya
ketagihan atas thiwul.
Ketika saya memakan, berinteraksi
dengan hal-hal khas Jawa, pikiran saya
melayang dan merasakan denyut kehidupan lain yang seolah-olah menginspirasi bahwa saya
bertanggung jawab atas masa lalu. Milik saya yang hampir musnah dan tidak ada
seorang pun yang pantas mengambil peran itu selain saya yang memulainya. Dan saya
yakin orang-orang yang masih memelihara Kabudayan Jowo lainnya pasti memiliki passion
yang khas dan sah untuk memanifestasikannya dalam sebuah ungkapan. Mungkin nggak berlebihan bila saya percaya “luhuring
kabudayan iku minangka duwure derajat manungsa”.
Langganan:
Postingan (Atom)