Minggu, 15 September 2013

Memaafkan dan Mengikhlaskan




Kecelakaan yang menimpa Abdul Qadir Jaelani (Dul) mengundang tanggapan berbagai pihak. Bisa jadi karena Dul adalah anak pasangan artis yang selama ini dikenal kontroversial sekaligus news maker. Berkali-kali membaca media on line mengupas dan mengabarkannya dari menit ke menit bahkan berhari-hari, menjadikan saya pun memikirkan dan merenungkannya.
Saya mencoba untuk mengkosongkan isi pikiran dan hanya  mencerna berita yang disuguhkan. Ada yang simpati,  empati, melakukan pelayanan, karya nyata bahkan ada yang oppourtunis. Dan yang terakhir bahkan mentasbihkan diri untuk  menjadi hakim sekaligus memanfaatkan moment kecelakaan dari Dul ini  untuk membunuhi karakter Ahmad Dhani -  Maia. Setiap jiwa layak dihargai dan tidak boleh dihilangkan secara semena-mena.
Belajar dari musibah ini, saya berpikir “sangat tidak adil” untuk menimpakan kesalahan ini dengan begitu saja kepada Ahmad Dani, Maia ataupun Dul. Lepas dari masalah dan kondisi kehidupannya sehingga dijadikan alasan bahwa kecelakaan ini bermula. Dul hanyalah korban bila kita akan melihat perceraian orang tuanya sebagai alasan tidak sempurnanya pendidikan keluarga.
Bila kita melihat sisi kebencian dan luapan emosi publik atas musibah ini, kita pun mudah mengurainya,  setidaknya kebencian itu muncul karena kontroversi dari Dhani atau Maia yang  sering mempertontonkan hal-hal baru di ruang publik, baca melawan arus – norma. Cobalah kita mengingatnya bagaimana saat Dhani menjadi juri, komentar pedas yang diperlihatkan akan sangat cepat mengundang solidaritas publik untuk pro peserta yang dikritisinya. Begitu juga pada diri Maia, apa yang dilakoninya pun banyak mengundang cibiran.
Saya mencoba melepas latar belakang cerita yang sudah ada atas kecelakaan Dul dan memandang fakta: ada sebuah keluarga yang sedang kena musibah karena anak bungsunya menabrak serta menelan korban meninggal. Bisa dibayangkan bagaimana rasa sedih, kecewa dan marah muncul dari orang tuanya melihat keadaan ini berkumpul menjadi satu. Pembelajaran dari kasus ini justru sangat luar biasa, Dhani dan Maia sepertinya berbagi peran, welas asih keduanya muncul luar biasa karena kondisi Dul dan publik menuntut peran itu secara simultan.
Kasih ibu sepanjang masa, ketegaran yang tidak terukur dan keberanian serta tanggung jawab seorang ayah pun telah kita lihat dari mereka. Yang lebih menarik lagi adalah ketika kita semua disadarkan oleh silaturahmi keluarga korban meninggal yang tidak meninggalkan doa untuk kesembuhan Dul. Sungguh ini pelajaran yang sangat istimewa dan bukan reality show atas suatu skenario yang diciptakan. Saya sangat bersyukur dimampukan belajar banyak dari musibah tersebut – memaafkan dan keikhlasan (kata kunci). Sadar untuk bersandar, demikian yang saya lihat kepada semua pihak dalam cerita pilu kecelakaan si Dul. Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang arif bijaksana,  jujur - adil kepada diri sendiri melihat sebuah permasalahan.  

Rabu, 04 September 2013

Pagi hari di Kamis Pahing yang Special

Pagi-pagi ini saya sudah mulai berkemas untuk perjalanan kerja ke Wonogiri, tepatnya di Puskesmas Purwantoro 2.  Sudah sejak seminggu terakhir memang persiapan itu saya kerjakan karena memang tugas fungsi saya demikian adanya. Sepertinya halnya kebiasaan rutin saya adalah mandi pagi dilanjutkan sarapan dan di dalam aktiftas mandi tadi benar-benar otak - pikiran saya menjadi lupa akan hari apa ini.
Dalam benak ini yang terpikir bahwa semalam saya telah lupa belum mengaji untuk mengirim Doa Yassin kepada Almarhumah Ibu Suwarni, ibu saya yang telah berpulang setahun lalu. Semua keluarga tidak bisa memungkiri kalau sedemikian kuatnya saya yang memiliki ikatan emosi paling besar di antara saudara-saudara saya.
Maka bergegaslah saya, ambil air wudlu untuk segera mengaji sebelum berangkat kerja. Masih cukup waktu kalau hanya untuk beryassin. Sampai dengan mengajipun saya jalani normal-normal hingga di atas ayat yang ke 40 dst, multi tasking saya berjalan. (Lho, ini kan masih Kamis, bukankah saya mandi pagi-pagi karena acara Seminar di Wonogiri).
Pikiran saya rilekkan dan mengaji saya teruskan sewajar-wajarnya. Dan kembali pikiran bawah sadar saya bilang "Ini adalah Kamis Pahing". Dan sisi lain dari saya saya peroleh bahwa, setelah saya ngaji nanti saya akan lihat di kalender apakah memang ini Kamis Pahing.
Ngaji pun klar dan berdiri menengok kalender, Subhanallah ini hari Kamis Pahing beneran. Owh yang tadi mengkosongkan hati pikiran saya untuk terbimbing memulai aktiftas mengaji adalah suatu harapan - permintaan dari almarhum untuk dikirimi doa.
Semenit saya tidak bisa menguasai keadaan, takut (bukan takut tepatnya tetapi merasa berada di dimensi lain) dan bersyukur karena saya dikaruniai talenta untuk peka terhadap yang telah terjadi kepada saya tadi. Dengan mengucap syukur Alhamdulillah lah saya akan menjalani kehidupan berikutnya.