Minggu, 26 Januari 2014

Astana Giribangun

Saya tidak bisa melupakan begitu saja perihal sosok Presiden HM Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Alasannya saya juga nggak tahu persis kenapa saya sangat mencintai beliau. Ada kekaguman tersendiri karena pandangan dan nilai-nilai falsafah Jawa yang di anut oleh mereka berdua. Dan itu tidak ada pada presiden RI berikutnya.
Ketika wafatnya Presideng Soeharto, saya juga masih ingat betul waktu dan kondisi saya saat itu. Yach, terkapar sakit - masuk angin hebat akibat tidak makan nasi selama 20 hari kecuali makan produk non beras dan sayuran + daging. Maka ketika hari ini saya mengunjungi makam beliau di Astana Giribangun, saya pun reframing dengan mudah ingatan saya ketika mendengar Indonesia berduka.
Terima Kasih Bp Soeharto, terima kasih Ibu Tien Soeharto. Semoga panjenengan dirakhmati Allah Ta'alla.

KGPAA Mangkunegara IV - Inspiratorku



Sudah beberapa tahun silam saya memulai membaca “Serat Wedhatama” karya dari  KGPAA Mangkunegara IV.  Bahkan hingga kini saya masih terus mencoba untuk menembangkannya  lirik dalam serat tersebut. Satu favorit saya adalah yang berbentuk Sekar Pangkur.
Liriknya adalah : Jinejerneng wedhatama, mrih tan kemba,..... dst. 
Berawal membaca serat Wedhatama yang di tafsir oleh Anand Khrisna - saya sangat kagum terhadap karya  tersebut  dan akhirnya muncul dorongan untuk sowan ziarah ke Girilayu - Gunung Tempat Bersemayam Orang-orang Mati. Bukan suatu apa-apa bilamana saya berkunjung ke sana, selain untuk menggenapkan "roso" dari nyecep sari nya Serat Wedhatama. Sebenarnya yang pertama kali mengenalkan sekar itu adalah guru saya SDN 7 Kebumen - Bp Sudjadi. (Hebat ya, waktu itu SD saya cuma tahunya nyanyi Jawa tetapi setelah ndolor dewasa baru ngeh sejatine sekar tersebut).



Sebuah perwujudan luar biasa di sebelah timur Solo yang berjarak kurang lebih 30 Km dan  di bangun pada tahun 1881. Sebuah makam yang terbuat dari baja berukuran 20 X 10 Meter dengan tinggi 7 Meter, sejarahpun  mencatat bahwa baja itu di import dari Belanda yang mendarat di Pelabuhan Semarang kemudian diangkut dengan kereta api dari Semarang ke Solo. Nah, dari Solo diangkat secara manual ke Girilayu yang berketinggian 1250 dpl. Bayangkan mas – mbak Broo. Rekasa biyaaaaanget tow anggone nggawe kuburan.
Berbekal dengan niat baik plus nothing to lose (suwung - tebih ing pamrih) saya mencoba approach kepada Bp Tugiman selaku kuncen di makam tersebut. Saya bisa katakan negosiasi tadi itu mulus-lus,  bahkan bapak kuncen itu mempersilakan saya untuk menikmati suasana hening,  tintrim dan meditatif di dalam mouseleum seorang diri. Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan pengalaman luar biasa.. Semoga apa yang saya peroleh hari ini akan menjadi bekal perjalanan hidup saya .

Jumat, 24 Januari 2014

Belajar dari Bu Endang



Ketika saya sarapan di tempat warungnya Bu Endang perhatian saya tertuju kepada salah satu pembeli yang membungkus sarapannya. Sepertinya pembeli perempuan itu memang terburu-buru karena masalah jam kerjanya. Yang bikin saya memelankan kunyahan nasi di mulut adalah ketika menyaksikan ia menulis apa yang dibelinya dan tanpa membayar cash kepada Bu Endang lalu beranjak pergi.
Sambil berseloroh saya bilang” lho Bu Endang, tampaknya dia nyorek (nulis – ngebon) atau memang sudah langganan?” seraya pengin tahu (kepo ya..?). Bagaimana tidak kepo lah, hari gini masih ada warung makan yang kasih utangan. Ternyata apa yang saya pikir tidak se-ekstrim apa yang saya pikirkan.

Singkat cerita, Bu Endang ternyata jauh hari sebelumnya telah menandatangani MoU dengan management BreadTalk Solo Square, di mana untuk memenuhi kebutuhan makan pekerjanya di tetapkan warung makan Ibu Endang sebagai rekanan. Wuihhh hebat ya, saya nggak nyangka apa yang dilakukannya.
Dengan ekpresi bicara yang paaaaanjang dan leeeeebar plus antuasias Bu Endang cerita bahwa kerjasama yang dijalin itu atas dasar saling percaya dan menjunjung azas “sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada lainnya”.
Ckk ckkk ckkk - piye kuwi Bu ? Mereka (bocah-bocah karyawan toko roti) sudah menganggap aku seperti simbok,e dan tiap hari mereka makan tidak saya tentukan susunan menunya. Boleh pilih  ini atau  itu seperti yang mereka mau/sukai. Dan apa yang mereka makan masing-masingnya  setiap hari akan direkapitulasi untuk  di klaim per bulannya. Jadi tiap pekerja tidak sama biaya makannya tapi total keseluruhannya akan saling mensubsidi. (Piro tow Bu budget perbulan nya ? sambil tersenyum penuh passion ia berbicara lirih - Rp diatas 5 jeti, haaa?)
Huffh, saya gelo sekali kenapa baru mendengar cerita luar biasa itu ? Sepertinya itu sesuatu yang sederhana tetapi butuh ketekunan dan keuletan kesabaran plus memakai hati – roso. Kalau saya sich tidak sanggup bilang itu sederhana, namun lebih pas kalau dibilang sebagai smart (cerdas). Bisa jadi Ibu Endang tidak melalui  teori pemasaran legacy tetapi yang dilakukannya sudah mencapai strategi era new wave marketing. Beliau sadar bahwa bisnis warung makan adalah bisnis di pasar horizontal dimana reputasi dan partnership menjadi hal yang maha penting. Ia telah menerapkan komunikasi dua arah meski ia tidak sadar akan aktiftas pemasarannya. Dan sebenarnya apa yang terjadi itu bisa disebut sebagai penerapan dari promosi menuju komunkasi, low budget high impact tentunya. Bravo buat Ibu Endang dan saya tunggu masakan spesialnya buat saya : Mangut Iwak Pe, Bothok Kemangi atau Capcay dan Tempe Glepung nya.

Senin, 20 Januari 2014

Indahnya Dunia Endah




Menempatkan diri untuk menikmati musik keroncong adalah kehormatan tersendiri bagi saya. Dan pemberitahuan performn  Endah Laras sudah satu minggu sebelumnya saya ketahui ketika mengunjungi Balai Soedjatmoko Solo. Jujur saya langsung merasa “harus” nonton dan saya harus bisa menikmati konser dari ikon baru musik keroncong. Bisa jadi memang malam ini adalah keberuntungan yang bertubi-tubi saya peroleh. Mulai dari hujan yang reda ketika berangkat, memperoleh MP3 dari konser tersebut hingga posisi duduk yang cukup menguntungkan – di depan dan nyaman. Apalagi di sebelah saya tiba-tiba hadir seorang penulis kawakan – Bp Kastoyo. Lengkap sudah saya perjalanan malam ini. Kenapa? Karena saya memang sudah lama pengin punya akses dengan penulis profesional agar saya lebih mahir dalam bertutur dalam  tulisan dan juga tips-tips praktik tentunya. Puji Tuhan – Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Mu yang telah memberikan karunia luar biasa ini.  
Kembali ke cerita semula saya datang ke balai itu, adalah seorang yang bernama Endah Laras – vokalis putri terbaik yang dimiliki Solo bahkan Indonesia. Bisa saya gambarkan suasana malam ini di Balai Soedjatmoko yang luar biasa penuh padahal yang digelar hanyalah musik keroncong. Bahkan ada beberapa orang asing dan keluarga Indonesia yang memang penikmat seni berkumpul menjadi satu hanya dengan satu tujuan, mendengarkan suara emas dari mbak Endah. Ada perasaan bangga sekaligus syukur yang mendalam ketika saya melihat opening dari Mbak Endah dengan di iringi Rebab oleh pemain muda berbakat. Eksotis sekali sampai-sampai saya membayangkan seandainya Vanesa Mae melihatnya pasti dia ingin juga main rebab – biola Jawa. He he he he he. Belum lagi ketika Mbak Endah CS – ada kakak adik keponakan membawakan lagu dolanan yang sangat apik. Wuihh saya jadi ingat masa kecil saya dengan tembang dolanan yang sudah nggak asing lagi di telinga – “Kupu Kuwi, Menthok-Menthok”, dst. Dan yang nggak kalah seru adalah ketika Mbak Endah menyanyikan lagu Crying Rahwana, saya takjub dengan cengkok Sunda yang sangat pas dan sulit dipercaya kalau Mbak Endah sebenarnya sinden Jawa. Dan penutup konsernya juga luar biasa karena konser juga kedatangan Mas Djadug, Cak Diqin dan beberapa seniman.  

Selasa, 07 Januari 2014

Mendekat ke akarnya



Peribahasa bilang “Setinggi-tingginya bangau terbang, jatuhnya ke pelimbahan juga” Mungkin pepatah sederhana ini bisa menggambarkan tentang kecintaan saya untuk selalu mempertahankan sisi-sisi kejawaan yang mengalir  untuk mewarisi titahnya leluhur terdahulu. Saya masih ingat ketika penawaran penempatan kerja – saya lebih memilih Solo sebagai kota yang menjadi tempat untuk berekpresi atas eksistensi tersembunyi yang memang telah saya sadari.
Untuk memelihara kebudayaan Jawa  atau setidaknya mencintai terlebih dahulu maka kita harus mengenal secara intens. Karena  Solo lah saya menjadi lengkap tersempurnakan   untuk mengenal “Kabudayan Jowo”. Saya mengukur diri kalau saya tidak mampu olah gerak yang mewujud dalam seni tari. Tetapi saya lebih mampu berekspresi dalam menikmati makanan – keplek ilat kata pinisepuh. Iyah bukan hal yang sulit untuk secara secara kreatif dan cepat progress nya dalam olah lidah  dan  berburu kuliner Jawa  yang unik atau langka.
Mulai dari kebiasaan makan lalapan kemangi, meminum jamu, nasi liwet (yang ini lumrah kale ya), dan yang paling menakutkan adalah makan walang goreng. Yang satu ini saya memang rada takut, kuatir kalau kaki walang nya menggores dinding kerongkongan dan macet. Betul juga ketika saya mendapatkan walang goreng di Playen Gunung Kidul dan kemudian mencoba memakan satu aja, lalu …… bener-bener macet tidak bisa di telan. Sampai akhirnya saya siram dengan air minum.  Dan saya tidak berpikir itu akan menjadi celaka selain apa yang terjadi karena buah pikir saya sebelumnya. Sisi pentingnya adalah saya sudah mencobai dan tidak katanya lagi – iyah bener-bener makan walang. Bravo – hebat saya bisa mengalahkan rasa takutnya.

Ada lagi yang bikin saya suka adalah makan Thiwul Wonogiri, meski sebagian orang sambat bahwa thiwul bisa membakar abdomen. Ha ha ha ha ha  perut saya tahan panas dan tidak kaget babar blas malah menjadi sekarang seperti candu karena saya ketagihan atas thiwul.
Ketika saya memakan, berinteraksi dengan hal-hal  khas Jawa, pikiran saya melayang dan merasakan denyut kehidupan lain  yang seolah-olah menginspirasi bahwa saya bertanggung jawab atas masa lalu. Milik saya yang hampir musnah dan tidak ada seorang pun yang pantas mengambil peran itu selain saya yang memulainya. Dan saya yakin orang-orang yang masih memelihara Kabudayan Jowo lainnya pasti memiliki passion yang khas dan sah untuk memanifestasikannya dalam sebuah ungkapan.  Mungkin nggak berlebihan bila saya percaya “luhuring kabudayan iku minangka duwure derajat manungsa”.

Kamis, 02 Januari 2014

Ingin Menulis Blog Kembali



Beberapa  hari lalu ada tayangan TV  tentang profesi Travel Blogger, kayaknya asyik sekali tuch. Cukup membuat saya berpikir di kemudian hari, kenapa saya lama sekali nggak menulis sesuatu hal yang terjadi dalam diri saya sebagai upaya menjejak sebuah  riwayat proses kehidupan. Kalau sekarang saya pengin memulai kembali saya timbang-timbang itu sebagai hal yang sangat positip dan inilah waktunya kembali – back back back : hahahahahahahaha. Kembali ke habit saya yang suka bercerita – ngomong dan berkata jujur atas apa yang sedang terjadi - mengalami atau bahkan berpendapat dari sudut pandang diri.
Itu semua bukan tanpa alasan kalau cukup lama absen ndak menulis di blog. Sekian lamanya itu, saya lebih intens menulis di Facebook, sehingga pernah kaget ketika bertandang di kediaman Ibu Rustriningsih ada salah satu staff yang membantu beliau menjuluki saya sebagai aktivis facebook.(Saking aktifnya menulis di Fb kalee ya?).
Memang dalam menulis status Fb saya nggak seperti kebanyakan orang pada umumnya karena saya menulis lebih kepada sesuatu hal yang informatif  tentang kuliner, destinasi wisata atau sudut pandang saya terhadap issue yang sedang terjadi. Meski demikian tentu ada yang suka  - ada pula yang mencemooh. Saya nggak perlu memikirkannya secara serius karena rasa yang beda itu, namanya juga Facebook. Menjembatani kesenjangan reaksinya  dengan keberadaan fb saya, lebih baik bila saya kembali menuliskan sesuatu di blog pribadi ini. Pastinya yang protes atau tidak setuju akan lebih berpikir dua kali, at least  dia akan berada pada moment stage “salah sendiri membaca blog saya,”  heheheheheeh. Nggak segitunya lah, saya masih care dengan kewajaran-kewajaran norma yang berlaku tetapi paling tidak dalam blog, itu adalah saya yang berani menyuarakan pendapat tentang sesuatu hal - ya di blog pribadi ini.