Peribahasa bilang “Setinggi-tingginya
bangau terbang, jatuhnya ke pelimbahan juga” Mungkin pepatah sederhana ini bisa
menggambarkan tentang kecintaan saya untuk selalu mempertahankan sisi-sisi
kejawaan yang mengalir untuk mewarisi
titahnya leluhur terdahulu. Saya masih ingat ketika penawaran penempatan kerja –
saya lebih memilih Solo sebagai kota yang menjadi tempat untuk berekpresi atas
eksistensi tersembunyi yang memang telah saya sadari.
Untuk memelihara kebudayaan
Jawa atau setidaknya mencintai terlebih dahulu
maka kita harus mengenal secara intens. Karena Solo lah saya menjadi lengkap tersempurnakan untuk
mengenal “Kabudayan Jowo”. Saya mengukur diri kalau saya tidak mampu olah gerak
yang mewujud dalam seni tari. Tetapi saya lebih mampu berekspresi dalam
menikmati makanan – keplek ilat kata pinisepuh. Iyah bukan hal yang sulit untuk
secara secara kreatif dan cepat progress nya dalam olah lidah dan berburu kuliner Jawa yang unik atau langka.
Mulai dari kebiasaan makan
lalapan kemangi, meminum jamu, nasi liwet (yang ini lumrah kale ya), dan yang
paling menakutkan adalah makan walang goreng. Yang satu ini saya memang rada
takut, kuatir kalau kaki walang nya menggores dinding kerongkongan dan macet.
Betul juga ketika saya mendapatkan walang goreng di Playen Gunung Kidul dan kemudian
mencoba memakan satu aja, lalu …… bener-bener macet tidak bisa di telan. Sampai
akhirnya saya siram dengan air minum.
Dan saya tidak berpikir itu akan menjadi celaka selain apa yang terjadi
karena buah pikir saya sebelumnya. Sisi pentingnya adalah saya sudah mencobai
dan tidak katanya lagi – iyah bener-bener makan walang. Bravo – hebat saya bisa
mengalahkan rasa takutnya.
Ada lagi yang bikin saya suka
adalah makan Thiwul Wonogiri, meski sebagian orang sambat bahwa thiwul bisa
membakar abdomen. Ha ha ha ha ha perut
saya tahan panas dan tidak kaget babar blas malah menjadi sekarang seperti candu karena saya
ketagihan atas thiwul.
Ketika saya memakan, berinteraksi
dengan hal-hal khas Jawa, pikiran saya
melayang dan merasakan denyut kehidupan lain yang seolah-olah menginspirasi bahwa saya
bertanggung jawab atas masa lalu. Milik saya yang hampir musnah dan tidak ada
seorang pun yang pantas mengambil peran itu selain saya yang memulainya. Dan saya
yakin orang-orang yang masih memelihara Kabudayan Jowo lainnya pasti memiliki passion
yang khas dan sah untuk memanifestasikannya dalam sebuah ungkapan. Mungkin nggak berlebihan bila saya percaya “luhuring
kabudayan iku minangka duwure derajat manungsa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar