Selasa, 07 Januari 2014

Mendekat ke akarnya



Peribahasa bilang “Setinggi-tingginya bangau terbang, jatuhnya ke pelimbahan juga” Mungkin pepatah sederhana ini bisa menggambarkan tentang kecintaan saya untuk selalu mempertahankan sisi-sisi kejawaan yang mengalir  untuk mewarisi titahnya leluhur terdahulu. Saya masih ingat ketika penawaran penempatan kerja – saya lebih memilih Solo sebagai kota yang menjadi tempat untuk berekpresi atas eksistensi tersembunyi yang memang telah saya sadari.
Untuk memelihara kebudayaan Jawa  atau setidaknya mencintai terlebih dahulu maka kita harus mengenal secara intens. Karena  Solo lah saya menjadi lengkap tersempurnakan   untuk mengenal “Kabudayan Jowo”. Saya mengukur diri kalau saya tidak mampu olah gerak yang mewujud dalam seni tari. Tetapi saya lebih mampu berekspresi dalam menikmati makanan – keplek ilat kata pinisepuh. Iyah bukan hal yang sulit untuk secara secara kreatif dan cepat progress nya dalam olah lidah  dan  berburu kuliner Jawa  yang unik atau langka.
Mulai dari kebiasaan makan lalapan kemangi, meminum jamu, nasi liwet (yang ini lumrah kale ya), dan yang paling menakutkan adalah makan walang goreng. Yang satu ini saya memang rada takut, kuatir kalau kaki walang nya menggores dinding kerongkongan dan macet. Betul juga ketika saya mendapatkan walang goreng di Playen Gunung Kidul dan kemudian mencoba memakan satu aja, lalu …… bener-bener macet tidak bisa di telan. Sampai akhirnya saya siram dengan air minum.  Dan saya tidak berpikir itu akan menjadi celaka selain apa yang terjadi karena buah pikir saya sebelumnya. Sisi pentingnya adalah saya sudah mencobai dan tidak katanya lagi – iyah bener-bener makan walang. Bravo – hebat saya bisa mengalahkan rasa takutnya.

Ada lagi yang bikin saya suka adalah makan Thiwul Wonogiri, meski sebagian orang sambat bahwa thiwul bisa membakar abdomen. Ha ha ha ha ha  perut saya tahan panas dan tidak kaget babar blas malah menjadi sekarang seperti candu karena saya ketagihan atas thiwul.
Ketika saya memakan, berinteraksi dengan hal-hal  khas Jawa, pikiran saya melayang dan merasakan denyut kehidupan lain  yang seolah-olah menginspirasi bahwa saya bertanggung jawab atas masa lalu. Milik saya yang hampir musnah dan tidak ada seorang pun yang pantas mengambil peran itu selain saya yang memulainya. Dan saya yakin orang-orang yang masih memelihara Kabudayan Jowo lainnya pasti memiliki passion yang khas dan sah untuk memanifestasikannya dalam sebuah ungkapan.  Mungkin nggak berlebihan bila saya percaya “luhuring kabudayan iku minangka duwure derajat manungsa”.

Tidak ada komentar: