Jumat, 24 Januari 2014

Belajar dari Bu Endang



Ketika saya sarapan di tempat warungnya Bu Endang perhatian saya tertuju kepada salah satu pembeli yang membungkus sarapannya. Sepertinya pembeli perempuan itu memang terburu-buru karena masalah jam kerjanya. Yang bikin saya memelankan kunyahan nasi di mulut adalah ketika menyaksikan ia menulis apa yang dibelinya dan tanpa membayar cash kepada Bu Endang lalu beranjak pergi.
Sambil berseloroh saya bilang” lho Bu Endang, tampaknya dia nyorek (nulis – ngebon) atau memang sudah langganan?” seraya pengin tahu (kepo ya..?). Bagaimana tidak kepo lah, hari gini masih ada warung makan yang kasih utangan. Ternyata apa yang saya pikir tidak se-ekstrim apa yang saya pikirkan.

Singkat cerita, Bu Endang ternyata jauh hari sebelumnya telah menandatangani MoU dengan management BreadTalk Solo Square, di mana untuk memenuhi kebutuhan makan pekerjanya di tetapkan warung makan Ibu Endang sebagai rekanan. Wuihhh hebat ya, saya nggak nyangka apa yang dilakukannya.
Dengan ekpresi bicara yang paaaaanjang dan leeeeebar plus antuasias Bu Endang cerita bahwa kerjasama yang dijalin itu atas dasar saling percaya dan menjunjung azas “sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada lainnya”.
Ckk ckkk ckkk - piye kuwi Bu ? Mereka (bocah-bocah karyawan toko roti) sudah menganggap aku seperti simbok,e dan tiap hari mereka makan tidak saya tentukan susunan menunya. Boleh pilih  ini atau  itu seperti yang mereka mau/sukai. Dan apa yang mereka makan masing-masingnya  setiap hari akan direkapitulasi untuk  di klaim per bulannya. Jadi tiap pekerja tidak sama biaya makannya tapi total keseluruhannya akan saling mensubsidi. (Piro tow Bu budget perbulan nya ? sambil tersenyum penuh passion ia berbicara lirih - Rp diatas 5 jeti, haaa?)
Huffh, saya gelo sekali kenapa baru mendengar cerita luar biasa itu ? Sepertinya itu sesuatu yang sederhana tetapi butuh ketekunan dan keuletan kesabaran plus memakai hati – roso. Kalau saya sich tidak sanggup bilang itu sederhana, namun lebih pas kalau dibilang sebagai smart (cerdas). Bisa jadi Ibu Endang tidak melalui  teori pemasaran legacy tetapi yang dilakukannya sudah mencapai strategi era new wave marketing. Beliau sadar bahwa bisnis warung makan adalah bisnis di pasar horizontal dimana reputasi dan partnership menjadi hal yang maha penting. Ia telah menerapkan komunikasi dua arah meski ia tidak sadar akan aktiftas pemasarannya. Dan sebenarnya apa yang terjadi itu bisa disebut sebagai penerapan dari promosi menuju komunkasi, low budget high impact tentunya. Bravo buat Ibu Endang dan saya tunggu masakan spesialnya buat saya : Mangut Iwak Pe, Bothok Kemangi atau Capcay dan Tempe Glepung nya.

Tidak ada komentar: